cerita ini menceritakan tentang sebuah kampung jalur perdagangan berjual beli. untuk cerita lebih jelasnya sob aja ceritanya di bawah ini.
Jaman dahulu kala di ceritakan ada sebuah kampung
pematang panjang, terletak di tepi sungai Blumei. Sungai tersebut merupakan
sarana lalu lintas yang menghubungkan pusat perdagangan rantau panjang di tepi
pantai menuju kampung talun kenas yang berada di hulu sungai Blumei. Bagi
masyarakat talun kenas yang bersuku karo, apabila berjual beli ke pasar rantau
panjang, dalam perjalanan pulang pergi, selalu singgah dan beristirahat di
kampung pematang panjang (Tanjung).
Tanpa sebab yang jelas, suatu hari terjadi perselisihan
antara beberapa warga kampung talun kenas dengan beberapa warga kampung
pematang panjang. Perselisihan itu tak dapat di hentikan, bahkah berujung
dengan perkelahian. Warga kampung talun kenas kalah dan mereka melaporkan
kejadian tersebut kepada kepala kampung. Rasa dendam yang membara membuat
mereka bersepakat, membalas kekalahan dengan cara menyerang kembali. Kemudian
mereka mengirim lima orang mata-mata yang bergerak di malam hari, untuk mengetahui
medan dan kekuatan musuh.
Pada saat melakukan aksinya, mata-mata tersebut merasa
sangat letih lalu mereka merebahkan tubuhnya di bawah sebuah pohon yang rindang
dan beralasan daun pohon itu. Ternyata daun tersebut adalah daun jelatang nyiru
(daun yang paling gatal). Tidak lama berselang, rasa gatal pun menyerang
mereka. Rasa gatal tersebut berubah menjadi rasa sakit karena garukan tangan
mereka, sehingga penyelidikan pun di hentikan. Misi mereka gagal total, mereka
pun kembali ke kampung talun kenas tanpa membuahkan hasil.
Rasa sesal dan bersalah timbul di hati mereka. Apa boleh
buat, semua sudah terjadi di luar rencana. Lalu mereka melaporkan semua yang
terjadi kepada kepala suku. Mereka juga menyarankan agar penyerangan di
batalkan saja, karena mereka mengira bahwa warga kampung pematang panjang
(Tanjung) sudah mengetahui rencana jahat yang akan mereka lakukan. Mereka pun
beruja, “lebih baik kita hentikan rencana kita dari pada terkena bencana.
Janagankan orangnya, pepohonannya saja sudah merawa (marah) kepada kita.
Sakitnya pun tak tertahankan, apalagi orang-orangnya merawa, tak terbayangkan
bagaimana sakitnya,” kata seorang mata-mata yang terkena jelatang tadi.
Selanjutnya, kepala suku menyuruh mereka ke kampung tanjung
untuk meminta maaf, sekaligus meminta obat penawar penyakit yang dinderita
mereka. Ternyata niat baik itu mendapat sambutan baik pula. Mereka pun di
maafka oleh warga tanjung, sedangkan obat penawar itu cukup dengan
menggosok-gosokan tanah ke bagian yang gatal.
Berdasarkan peristiwa merawanya pepohonan, akhirnya mereka
menambahkan kata tanjung dengan kata “merawa”, sehingga kampung itu berubah
nama menjadi kampung tanjung merawa. Kata merawa berubah menjadi “ moraaw”,
sesuai dengan ucapan orang belanda yang mulai masuk ke kampung itu. Sejak saat
itu sampai sekarang, kampung tersebut di kenal sebagai “kampung Tanjung Morawa”.
Pesan moral cerita di atas yang dapat kita pelajari
Niat baik akan
membawa kedamaian dan kebahagian hidup, sedangkan niat jahat akan membawa sengsara, bahkan sebelum niat itu terlaksana.
semoga cerita ini dapat menginspirasi kita pada saat selesai membacanya dan tidak mempunyai hati yang buruk kepada orang lain.
terima kasih semoga dapat bermanfaat dan tambah pengetahuan tentang cerita-cerita yang ada di nusantara.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "cerita legenda Asal Usul Nama Tanjung Morawa dari sumatra utara"
Post a Comment